latar: instalasi tulisan bambu 'NOT FOR SALE"
gde suandana sayur, i wayan sudarna putra, pande putu setiawan
Musim panen padi adalah saat- saat terindah bagi sebagian masyarakat Ubud yang masih berprofesi menjadi petani, tak meninggalkan warisan tradisi walau terkadang hidup malah meninggalkan mereka.
Saat ini semakin sulit menemukan sawah luas menghampar di tengah perkembangan pariwisata yang begitu pesat di manapun tanpa terkecuali merenggut Ubud. Sebagian lahan persawahan telah dijual untuk keperluan pariwisata tersebut oleh pemilik-pemilik sawah yang sudah turun temurun mewarisinya dari leluhur mereka.
Dan ketika dua orang seniman Ubud, Sayur & Nano lalu menumpahkan rindu mereka lewat sebuah karya instalasi di tengah sawah berupa sebuah tulisan 'NOT FOR SALE' dari bambu bercat putih yang menancap dan menghiasi pesawahan Junjungan yang dikepung villa-villa maka itu seperti sebuah gelagat merindu. (Aku jadi teringat dengan deretan huruf HOLLYWOOD di bebukitan Amerika sana.) Merindu tempat mengejar capung yang dulu, merindu masa lalu, merindu ibu, merindu Dewi Sri, ia yang saban waktu tersenyum kepada orang-orang Ubud melalui putik-putik padi di pagi hari. Dan betul, katanya orang yang merindu, ia sedang mengalami pencerahan paling berharga dalam hidupnya! Mereka barangkali sedang merasakan sensasi itu. tercerahkan!
Maka perlu sama-sama kita simak kembali, pariwisata Bali tanpa sawah seperti sebuah lukisan tanpa jiwa! maka jika kita ingin mengenang kem-Bali, maka duduklah sejenak di gubuk-gubuk kecil di tengah sawah, dimana para petani -ditemani pipit bersuka cita memanen hasil keringat mereka. Adakah kita merindu?
Pande
april14/2011
Sebuah Puisi Wayan Juniari
'Perdebatan Pesta Musim Padi'
ini musim buah padi lagi ada
seperti juga burung pipit
akupun turut merasa
pematang jadi ramai
oleh orang-orangan sawah,
juga oleh berjuntai-juntai tali
yang digantungkan berderet kaleng berisi kerikil
dan dipautkan pada seutas tali
yang jika ditarik sekali saja akan menggoncangkan semua kaleng-kaleng itu...
entah kenapa aku suka suara kaleng-kaleng itu....
sensasi saat kaleng-kaleng itu ditarik beberapa kali
kawanan burung pipit yang sibuk meraih peruntungannya pada biji padi
menghambur bersamaan seiring teror suara kaleng-kaleng itu
juga teriakan para petani sambil menepuk'kan tangannya
aku merindukan sensasi itu...
sebuah perdebatan pesta musim padi yang indah
untukku yang selalu kesepian
saat tak ada ayah dirumah
suara-suara itu
riuh tepuk tangan itu
juga burung-burung pipit itu....
aku merindukannya
jika aku merindu
diam-diam aku suka datang
melihat rumah
melihat sawah
melihat kenangan
suatu ketika
saat aku duduk di sebuah pematang
seseorang menghampiriku
aku tahu siapa perempuan ini
tak'kan pernah kulupakan guratan senyumnya
dialah penggarap sawah kami
dari dulu sekali ia dan suaminya selalu setia menggarap sawah kami
sejak sudah lama aku meninggalkan kotaku ini
dan tak ada ayah lagi
aku pikir mereka juga hengkang
ternyata tidak
mereka masih setia
setia dengan sawah kami
setia dengan ayah....
ia duduk disampingku
katanya :
"aku masih disini,hingga kini,
kau sudah besar sekarang,sejak kau tinggalkan jalan ini,aku dan suamiku masih tetap menggarap sawah ini. Aku selalu terkenang akan kebaikan-kebaikan ayahmu,mungkin kau tak tahu.... dulu baju-baju yang tak pernah kau pakai selalu diam-diam diambil ayahmu untuk diberikannya pada anak ibu yang seumuran denganmu!
saat kau masih merahpun aku sudah ada disini
jadi aku tahu kisahmu
dan bagaimana kau tumbuh di jalan ini
berlari
bernyanyi
aku tak'kan lupa itu" katanya sambil berkaca-kaca
"aku sangat merindukanmu,
sering-seringlah kemari.
Tengok rumah
tengok sawah
tengok kami
karena kami akan selalu setia disini....
kau sudah besar sekarang
sudah mengerti kan?
aku harap kau kembali lagi nanti!"
tentu,tentu aku ingin sekali.......
perempuan itu beranjak pergi
sambil mengusap linangan matanya
aku termangu
sambil kembali menikmati sensasi
perdebatan pesta musim padi
dan jika aku masih diberi kesempatan,tentu aku akan kembali lagi
ketempat dimana aku berasal.......
mungkin nanti!
pic by: sayur/ayou mamboo
gde suandana sayur, i wayan sudarna putra, pande putu setiawan
Musim panen padi adalah saat- saat terindah bagi sebagian masyarakat Ubud yang masih berprofesi menjadi petani, tak meninggalkan warisan tradisi walau terkadang hidup malah meninggalkan mereka.
Saat ini semakin sulit menemukan sawah luas menghampar di tengah perkembangan pariwisata yang begitu pesat di manapun tanpa terkecuali merenggut Ubud. Sebagian lahan persawahan telah dijual untuk keperluan pariwisata tersebut oleh pemilik-pemilik sawah yang sudah turun temurun mewarisinya dari leluhur mereka.
Dan ketika dua orang seniman Ubud, Sayur & Nano lalu menumpahkan rindu mereka lewat sebuah karya instalasi di tengah sawah berupa sebuah tulisan 'NOT FOR SALE' dari bambu bercat putih yang menancap dan menghiasi pesawahan Junjungan yang dikepung villa-villa maka itu seperti sebuah gelagat merindu. (Aku jadi teringat dengan deretan huruf HOLLYWOOD di bebukitan Amerika sana.) Merindu tempat mengejar capung yang dulu, merindu masa lalu, merindu ibu, merindu Dewi Sri, ia yang saban waktu tersenyum kepada orang-orang Ubud melalui putik-putik padi di pagi hari. Dan betul, katanya orang yang merindu, ia sedang mengalami pencerahan paling berharga dalam hidupnya! Mereka barangkali sedang merasakan sensasi itu. tercerahkan!
Maka perlu sama-sama kita simak kembali, pariwisata Bali tanpa sawah seperti sebuah lukisan tanpa jiwa! maka jika kita ingin mengenang kem-Bali, maka duduklah sejenak di gubuk-gubuk kecil di tengah sawah, dimana para petani -ditemani pipit bersuka cita memanen hasil keringat mereka. Adakah kita merindu?
Pande
april14/2011
Sebuah Puisi Wayan Juniari
'Perdebatan Pesta Musim Padi'
ini musim buah padi lagi ada
seperti juga burung pipit
akupun turut merasa
pematang jadi ramai
oleh orang-orangan sawah,
juga oleh berjuntai-juntai tali
yang digantungkan berderet kaleng berisi kerikil
dan dipautkan pada seutas tali
yang jika ditarik sekali saja akan menggoncangkan semua kaleng-kaleng itu...
entah kenapa aku suka suara kaleng-kaleng itu....
sensasi saat kaleng-kaleng itu ditarik beberapa kali
kawanan burung pipit yang sibuk meraih peruntungannya pada biji padi
menghambur bersamaan seiring teror suara kaleng-kaleng itu
juga teriakan para petani sambil menepuk'kan tangannya
aku merindukan sensasi itu...
sebuah perdebatan pesta musim padi yang indah
untukku yang selalu kesepian
saat tak ada ayah dirumah
suara-suara itu
riuh tepuk tangan itu
juga burung-burung pipit itu....
aku merindukannya
jika aku merindu
diam-diam aku suka datang
melihat rumah
melihat sawah
melihat kenangan
suatu ketika
saat aku duduk di sebuah pematang
seseorang menghampiriku
aku tahu siapa perempuan ini
tak'kan pernah kulupakan guratan senyumnya
dialah penggarap sawah kami
dari dulu sekali ia dan suaminya selalu setia menggarap sawah kami
sejak sudah lama aku meninggalkan kotaku ini
dan tak ada ayah lagi
aku pikir mereka juga hengkang
ternyata tidak
mereka masih setia
setia dengan sawah kami
setia dengan ayah....
ia duduk disampingku
katanya :
"aku masih disini,hingga kini,
kau sudah besar sekarang,sejak kau tinggalkan jalan ini,aku dan suamiku masih tetap menggarap sawah ini. Aku selalu terkenang akan kebaikan-kebaikan ayahmu,mungkin kau tak tahu.... dulu baju-baju yang tak pernah kau pakai selalu diam-diam diambil ayahmu untuk diberikannya pada anak ibu yang seumuran denganmu!
saat kau masih merahpun aku sudah ada disini
jadi aku tahu kisahmu
dan bagaimana kau tumbuh di jalan ini
berlari
bernyanyi
aku tak'kan lupa itu" katanya sambil berkaca-kaca
"aku sangat merindukanmu,
sering-seringlah kemari.
Tengok rumah
tengok sawah
tengok kami
karena kami akan selalu setia disini....
kau sudah besar sekarang
sudah mengerti kan?
aku harap kau kembali lagi nanti!"
tentu,tentu aku ingin sekali.......
perempuan itu beranjak pergi
sambil mengusap linangan matanya
aku termangu
sambil kembali menikmati sensasi
perdebatan pesta musim padi
dan jika aku masih diberi kesempatan,tentu aku akan kembali lagi
ketempat dimana aku berasal.......
mungkin nanti!
pic by: sayur/ayou mamboo
0 komentar:
Posting Komentar